BAB I
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang Masalah
Negara Kesatuan
Republik Indonesia dalam menjalankan pemerintahan bertujuan untuk menciptakan
masyarakat yang makmur dengan berdasar kepada pancasila dan Undang-undang Dasar
(UUD) Negara Republik Indonesia tahun 1945. Adapun cara yang di tempuh
pemerintah Negara Kesatuan Republik Indonesia agar tercipta masyarakat yang
makmur adalah dengan menjalankan otonomi daerah dimana setiap daerah memiliki
hak untuk mengurus daerahnya secara mandiri untuk kepentingan dan kesejahteraan
masyarakatnya.
Negara atau
pemerintah telah memberikan fasilitas-fasilitas umum kepada warga negara yang
memang telah menjadi hak dari warga negara. Kita harus memenuhi segala bentuk
kewajiban kepada negara sesuai dengan peraturan yang telah ditentukan oleh
pemerintah. Pemerintah menginginkan agar setiap warga negara yang telah
berkewajiban untuk membayar pajak bersedia untuk menunaikan kewajibannya.
Selain itu, pemerintah juga menginginkan setiap Wajib Pajak untuk memiliki
pengetahuan tentang perpajakan serta taat terhadap peraturan perpajakan yang
berlaku. Almaliki (2017) Staf Ahli Ekonomi Pembangunan, Askar mengatakan
pembayaran pajak merupakan perwujudan dari kewajiban dan peran serta Wajib
Pajak, untuk secara langsung dan bersama-sama melaksanakan kewajiban
perpajakan, untuk pembiayaan pembangunan daerah.
Berdasarkan
laporan Jihad Rokhadi, pembayaran pajak bumi dan bangunan di kabupaten Bantul
yang berakhir pada hari Sabtu, 30 September 2017 menuai hasil maksimal. Namun
masih banyak Wajib Pajak yang belum membayar pajaknya. Terdapat 617.491 lembar
surat pemberitahuan pajak terutang (SPPT) PBB yang disebar BKAD, namun hanya
sekitar 420 ribuan Wajib Pajak yang membayar pajaknya. Kasubdit Penagihan BKAD
Bantul Darmawan Purwana membeberkan banyak kendala yang dihadapi petugas BKAD.
Diantaranya, tidak sedikit Wajib Pajak yang notabene institusi besar mangkir
membayar PBB. Petugas BKAD sebenarnya telah terjun langsung memungut PBB
institusi bersangkutan. Namun, institusi tersebut selalu menghindar dengan
berbagai cara.
Pada awalnya
Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dikelolah oleh pemerintah pusat, melalui
Direktorat Jenderal Pajak melalui Kementrian Keuangan, berdasarkan ketentuan
Undang-undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana
telah diubah dengan Undang-undang Nomor 12 Tahun 1994 (UU PBB). Setelah
berlakunya Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi
Daerah (UU PDRB), pengelolaan PBB diserahkan kepada Pemerintah Daerah
Kabupaten/kota. Dengan menafsirkan Pasal 182 UU PDRB, maka paling lambat
tanggal 1 Januari 2014 pengelolaan PBB-P2 harus sudah dilaksanakan oleh
Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota.
Pajak Bumi dan
Bangunan (PBB) adalah pajak negara yang dikenakan terhadap bumi dan atau
bangunan berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 tahun 1985 tentang PBB sebagaimana
telah diubah dengan Undang- Undang Nomor 12 tahun 1994. PBB merupakan pajak
yang bersifat kebendaan atau pajak yang bersifat objektif dalam arti besarnya
pajak yang terutang ditentukan oleh keadaan objek yaitu bumi/tanah dan atau
bangunan. Keadaan subjek pajak (siapa yang membayar pajak) tidak ikut
menentukan besarnya pajak yang terutang (Widodo, 2010).
PBB merupakan
jenis pajak yang sangat potensial dan startegis sebagai sumber penghasilan
negara dalam rangka membiayai penyelenggaraan pemerintah dan pembangunan. PBB
adalah salah satu faktor pemasukan bagi negara yang cukup berkontribusi
terhadap pendapatan negara dibandingkan dengan sektor pajak lainnya. Apabila
pemungutan PBB meningkat, maka akan terjadi peningkatan pendapatan daerah,
sehingga mampu mendorong perekonomian dan pembangunan daerah tersebut, yang
pada akhirnya dapat dinikmati oleh masyarakat secara umum. Untuk itu,
pemerintah perlu meningkatkan peranan PBB sebagai sumber penerimaan pemerintah
pusat maupun pemerintah daerah.
Salah satu cara
untuk mengoptimalkan penerimaan PBB adalah dengan meningkatkan kepatuhan Wajib
Pajak PBB. Kepatuhan Wajib Pajak adalah Wajib Wajak yang disiplin dan taat,
serta tidak memiliki tunggakan atau keterlambatan penyetoran pajak. Kepatuhan
Wajib Pajak dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu: kondisi sistem
administrasi pajak suatu negara, pelayanan pada Wajib Pajak, penegakan hukum
perpajakan, pemeriksaan pajak, dan tarif pajak (Devano dan Rahayu, 2013) yang merupakan
faktor yang berasal dari pemerintah, sedangkan faktor yang berasal dari dalam
diri Wajib Pajak yaitu: tingkat pemahaman, pengalaman, penghasilan (Franklin,
2008) dan faktor kesadaran perpajakan (Saputra, 2015).
Tingkat
kepatuhan Wajib Pajak dalam memenuhi kewajiban perpajaknnya dapat dilihat dari
kebenaran dan ketepatan waktu Surat Pemberitahuan (SPT) yang dilaporkan atau
disampaikan ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP). Masih banyak Wajib Pajak yang
kurang paham dengan bagaimana cara menghitung, mengisi, dan menyampaikan surat
pemberitahuan. Wajib Pajak dengan sengaja atau tidak sengaja menghindari pajak
bahkan melakukan perlawanan aktif seperti tax avoidance dan tax evasion
(Ashari, 2013).
Kesadaran wajib
pajak atas fungsi perpajakan sebagai pembiayaan negara sangat diperlukan untuk
meningkatkan kepatuhan wajib pajak (Jatmiko, 2006). Muliari dan Setiawan
(2010), menjelaskan masyarakat harus sadar akan keberadaannya sebagai warga
negara dan harus selalu menjunjung tinggi Undang-Undang Dasar 1945 sebagai dasar
hukum penyelenggaran negara. Penelitian yang dilakukan oleh Jatmiko (2006)
menemukan bahwa kesadaran perpajakan memiliki pengaruh positif yang signifikan
terhadap kepatuhan wajib pajak. Penelitian yang dilakukan oleh Muliari dan
Setiawan (2010) juga menemukan bahwa kesadaran wajib pajak berpengaruh positif
dan signifikan pada kepatuhan pelaporan wajib pajak orang pribadi di Kantor
Pelayanan Pajak Denpasar Timur Kesadaran adalah perilaku atau sikap terhadap
suatu objek yang melibatkan anggapan dan perasaan serta kecenderungan untuk
bertindak sesuaiobjek tersebut. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Kesadaran
Wajib Pajak dalam membayar pajak merupakan perilaku Wajib Pajak berupa
pandangan atau perasaan yang melibatkan pengetahuan, keyakinan dan penalaran
disertai kecenderungan untuk bertindak sesuai stimulus yang yang diberikan oleh
sistem dan ketentuan pajak tersebut.
Mengingat
pentingnya fenomena-fenomena di atas, penulis tertarik untuk melakukan
penelitian ilmiah dengan judul “PENGARUH SIKAP KESADARAN WAJIB PAJAK DAN
PENGETAHUAN PERPAJAKAN TERHADAP KEPATUHAN WAJIB PAJAK DALAM MEMBAYAR PAJAK BUMI
DAN BANGUNAN DI KABUPATEN BANTUL YOGYAKARTA”.
1.2. Batasan
Masalah
1.2.1. Demi
terfokusnya hasil dari penelitian ini, maka peneliti memilih ruang lingkup
penelitian hanya pada Wajib Pajak yang berdomisili di Kabupaten Bantul.
1.2.2. Karena
keterbatasan peneliti dalam hal dana, tenaga, dan waktu maka penelitian ini
hanya dilakukan selama tiga bulan.
1.3. Rumusan
Masalah
1.3.1. Apakah
sikap kesadaran wajib pajak berpengaruh terhadap kepatuhan wajib pajak dalam
membayar pajak bumi dan bangunan di Kabupaten Bantul Yogyakarta?
1.3.2. Apakah
pengetahuan perpajakan berpengaruh terhadap kepatuhan wajib pajak dalam
membayar pajak bumi dan bangunan di Kabupaten Bantul Yogyakarta?
1.4. Tujuan
Penelitian
1.4.1. Untuk
mengetauhi pengaruh kesadaran wajib pajak terhadap kepatuhan wajib pajak dalam
membayar pajak bumi dan bangunan di Kabupaten Bantul Yogyakarta.
1.4.2. Untuk
mengetahui pengetahuan perpajakan terhadap kepatuhan wajib pajak dalam membayar
pajak bumi dan bangunan di Kabupaten Bantul Yogyakarta.
1.5. Manfaat
Penelitian
Dalam
penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat untuk praktisi dan
akademisi. Berikut manfaat dari penelitian adalah:
1.5.1. Manfaat
Akademisi
a. Bagi
Ilmu Akuntansi
Penelitian ini
diharapkan dapat dijadikan referensi untuk memperkaya wawasan khususnya di
bidang akuntansi Perpajakan dan Akuntansi Sektor Publik mengenai kepatuhan
Wajib Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) terhadap pendapatan daerah di Kabupaten
Bantul.
b. Bagi
Peneliti
Penelitian ini
diharapkan dapat menambah dan mengembangkan wawasan peneliti mengenai sikap
kesadaran dan pengetahuan perpajakan
terhadap kepatuhan Wajib Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) di kabupaten
Bantul Yogyakarta, dengan cara membandingkan teori yang diperoleh dengan
kenyataan atau kondisi yang sebenarnya terjadi dilapangan.
c.
Bagi Peneliti
Selanjutnya
Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai bahan referensi, acuan, dan
informasi kepada pihak lain yang melakukan penelitian lebih lanjut dalam tema
yang sama dengan penelitian ini.
1.5.2. Manfaat
Praktisi
a. Bagi
Pemerintah Kabupaten Bantul
Penelitian ini
diharapkan menjadi bahan informasi tambahan dalam melaksanakan tanggung jawab
dalam hal pengawasan dan penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB).
b. Bagi
Wajib Pajak
Penelitian ini
diharapkan dapat memberikan pengetahuan baru bagi Wajib Pajak, supaya
pengetahuan perpajakan, kualitas pelayanan, dan kesadaran Wajib Pajak lebih
meningkat untuk melaksanakan kewajibannya dalam membayar pajak khususnya PBB,
sehingga akan meningkatkan penerimaan PBB di Kabupaten Bantul.
BAB
II
TINJAUAN
PUSTAKA
A.
Landasan Teori
1.
Teori Atribusi
(Atribution Theory)
Atribusi adalah
memperkirakan apa yang menyebabkan orang lain itu berperilaku tertentu. Menurut
Myers (1996), kecenderungan memberi atribusi disebabkan oleh kecenderungan
manusia untuk menjelaskan segala sesuatu, termasuk apa yang ada dibalik
perilaku orang lain. Attribution theory (teori sifat) merupakan posisi tanpa
perlu disadari pada saat melakukan sesuatu menyebabkan orang-orang yang sedang
menjalani sejumlah tes bisa memastikan apakah perkataan-perkataan dan
perbuatanperbuatan orang lain dapat merefleksikan sifat-sifat karakteristik yang
tersembunyi dalam dirinya, atau hanya berupa reaksi-reaksi yang dipaksakan
terhadap situasi tertentu.
Kajian tentang
atribusi pada awalnya dilakukan oleh Frizt Heider (1958). Menurut Heider,
setiap individu pada dasarnya adalah seseorang ilmuwan semu (pseudo scientist)
yang berusaha untuk mengerti tingkah laku orang lain dengan mengumpulkan dan
memadukan potonganpotongan informasi sampai mereka tiba pada sebuah penjelasan
masuk akal tentang sebab-sebab orang lain bertingkah laku tertentu. Dengan kata
lain seseorang itu selalu berusaha untuk mencari sebab mengapa seseorang
berbuat dengan cara-cara tertentu.
Atribusi mengacu
pada bagaimana orang menjelaskan penyebab perilaku orang lain atau dirinya
sendiri. Menurut Sairi (2014) atribusi adalah proses di mana orang menarik
kesimpulan mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku orang lain. Teori
atribusi adalah teori kepatuhan Wajib Pajak terkait dengan sikap Wajib Pajak
dalam membuat penilaian terhadap pajak itu sendiri.
Pada dasarnya,
teori atribusi menyatakan bahwa bila individu mengamati perilaku orang lain,
mereka mencoba untuk menentukan apakah itu ditimbulkan secara internal atau
eksternal. Perilaku yang disebabkan secara internal adalah perilaku yang
diyakini berada di bawah kendali pribadi individu itu sendiri dalam keadaan
sadar, seperti ciri kepribadian, kesadaran, dan kemampuan. Sedangkan perilaku
yang disebabkan secara eksternal adalah perilaku yang dipengaruhi dari luar,
yang artinya individu akan terpaksa berperilaku karena situasi, seperti adanya
pengaruh social dari orang lain.
Menurut Robbins
(2003) penentuan apakah perilaku disebabkan secara internal atau eksternal
dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu:
a. Kekhususan
Kekhususan
artinya seseorang akan mempersepsikan perilaku individu lain secara berbeda
dalam situasi yang berlainan. Apabila perilaku seseorang dianggap biasa maka
akan dinilai sebagai atribusi internal. Sebaliknya, apabila perilaku dianggap
suatu hal yang luarbiasa maka individu lain yang bertindak sebagai pengamat
akan memberikan atribusi eksternal.
b. Konsensus
Konsensus
artinya jika semua orang mempunyai kesamaan pandangan dalam merespon perilaku
seseorang dalam situasi yang sama. Apabila konsensusnya tinggi, maka termasuk
atribusi internal. Sebaliknya, apabila konsensusnya rendah, maka termasuk
atribusi eksternal.
c. Konsistensi
Konsistensi
yaitu jika seseorang menilai perilaku-perilaku orang lain dengan respon yang
sama dari waktu ke waktu. Semakin konsisten perilaku itu, orang akan
menghubungkan hal tersebut dengan sebab-sebab internal. Penelitian dibidang
perpajakan yang menggunakan dasar teori atribusi salah satunya adalah
penelitian Mulya (2012). Mulya (2012) melakukan penelitian mengenai analisis
pengaruh kesadaran perpajakan, sikap rasional, lingkungan, sanksi denda dan
sikap fiskus terhdap kepatuhan Wajib Pajak di Wilayah KPP Semarang. Selain itu
Istanto (2010) melakukan penelitian mengenai analisis faktor- faktor yang
mempengaruhi Wajib Pajak orang pribadi dalam memenuhi kewajiban membayar pajak.
Hutagaol (2007) menggunakan dasar teori atribusi dikarenakan relevan untuk
menjelaskan faktor- faktor yang dapat mempengaruhi kepatuhan Wajib Pajak dalam
memenuhi kewajiban membayar pajak.
2.
Teori
Pembelajaran Sosial
Teori
pembelajaran social mengatakan bahwa seseorang dapat belajar melalui pengamatan
dan pengalaman langsung (Robbins, 2013). Terdapat empat proses dalam teori
pembelajaran sosial yaitu:
a.
Proses Perhatian (attentional)
b.
Proses Penahanan (retention)
c.
Proses Reproduksi Motorik
d.
Proses Penguatan (reinforcement)
Proses perhatian (attentional) yaitu orang hanya akan belajar dari seseorang yang
mampu menarik perhatian dari orang lain, sehingga orang tersebut akan menaruh
perrhatian atas perilaku dan tindakan dari orang lain tersebut. Proses
penahanan (retention) adalah proses
mengingat suatu tinda kan seseorang setelah orang tersebut tidak lagi mudah
tersedia. Proses Reproduksi Motorik adalah proses mengubah pengamatan menjadi
perbuatan. Proses Penguatan (reinforcement)
adalah proses yang mana individu-individu disediakan rangsangan positif atau
ganjaran supaya berperilaku sesuai dengan model. Teori pembelajaran sosial yang
dilakukan oleh Robbins sangat relevan untuk menjelaskan perilaku Wajib Pajak
dalam memenuhi kewajibannya membayar pajak termasuk PBB.
Penelitian dibidang perpajakan yang menggunakan
dasar teori pembelajaran sosial salah satunya adalah penelitian Jatmiko (2014).
Jatmiko (2006) melakukan penelitian mengenai pengaruh sikap Wajib Pajak pada
pelaksanaan sanksi denda, pelayanan fiskus dan kesadaran perpajakan terhadap
kepatuhan Wajib Pajak orang pribadi di kota Semarang. Analisis data dilakukan
dengan menggunakan teknik analisis regresi berganda. Variabel bebas yang
digunakan adalah sikap Wajib Pajak terhadap pelaksanaan sanksi denda, sikap
Wajib Pajak terhadap pelayanan fiskus, dan sikap Wajib Pajak terhadap kesadaran
perpajakan, sedangkan variabel terikat yang digunakan adalah kepatuhan Wajib
Pajak. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa sikap Wajib Pajak terhadap
pelaksanaan sanksi denda, sikap Wajib Pajak terhadap pelayanan fiskus dan sikap
Wajib Pajak terhadap kesadaran perpajakan memiliki pengaruh positif yang signifikan
terhadap kepatuhan Wajib Pajak.
Jatmiko (2006) menjelaskan bahwa teori pembelajaran
sosial ini relevan untuk menjelaskan perilaku wajib pajak dalam memenuhi
kewajibannya membayar pajak. Seseorang akan taat membayar pajak tepat pada
waktunya, jika lewat pengamatan dan pengalaman langsungnya, hasil pungutan
pajak itu telah memberikan kontribusi nyata pada pembangunan di wilayahnya.
Seseorang juga akan taat pajak apabila telah menaruh perhatian terhadap
pelayanan pajak, baik fiskus maupun sistem pelayanan pajaknya. Terkait dengan
proses penguatan, dimana individu-individu disediakan rangsangan positif atau
ganjaran supaya berperilaku sesuai dengan model.
Teori pembelajaran sosial ini relevan untuk
menjelaskan perilaku wajib pajak dalam memenuhi kewajibannya membayar pajak.
Seseorang akan taat membayar pajak tepat pada waktunya. Penelitian yang
menggunakan basis teori pembelajaran sosial ini adalah penelitian Suhardito
(1996).
Analisis data dilakukan dengan menggunakan teknik
analisis regresi berganda. Variabel bebas yang digunakan adalah kesadaran
perpajakan, rasio beban PBB dibandingkan pendapatan WP, rasio beda hitung
difference, sikap WP terhadap prioritas pembangunan pemerintah, persepsi WP
tentang pelaksanaan sanksi denda PBB, tax avoidance, pendidikan, lama tinggal
WP, kesadaran bernegara, pemahaman WP tentang UU, persepsi WP bahwa
penghindaran PBB telah umum, pendapat WP terhadap beban PBB dan status rumah
WP. Variabel terikat yang digunakan adalah collection rate. Hasil penelitian
Bambang Suhardito adalah bahwa variabel bebas yang berpengaruh signifikan
terhadap collection rate adalah kesadaran perpajakan, rasio beban PBB
dibandingkan beban WP, rasio beda hitung difference, sikap WP terhadap
prioritas pembangunan pemerintah, persepsi WP tentang pelaksanaan sanksi denda
PBB, tax avoidance, pendidikan, dan lama tinggal WP.
3.
Pengetahuan
Perpajakan
Pajak adalah hal
yang penting untuk membangun negara dan menjalankan pemerintahan karena hasil
memungut pajak digunakan untuk membiayai pengeluaran negara. Membayar pajak
adalah kewajiban Wajib Pajak dan Wajib Pajak yang baik adalah Wajib Pajak yang
patuh membayar pajak. Pajak akan dialokasikan untuk membangun suatu negara guna
mencapai kesejahteraan dan pemerataan. Pembangunan tersebut dapat berupa
pembangunan fasilitas-fasilitas umum yang diperuntukkan untuk masyarakat luas.
Selain itu pajak juga dapat digunakan untuk pemerataan ekonomi.
Prof.Dr.Rochmat
Soemitro, SH : “pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan
undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapatkan jasa timbal
balik (kontrapretasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk
membayar pengeluaran umum” (Mardiasmo,2013:1). Berdasarkan Undang-Undang No. 28
Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, pajak adalah
kontribusi wajib kepada negara yang terhutang oleh orang pribadi atau badan
yang bersifat memaksa menurut UndangUndang dengan tidak mendapat imbalan secara
langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi kemakmuran rakyat.
4.
Kesadaran Wajb
Pajak
a.
Pengertian
Kesadaran
Menurut Kamus
Bahasa Indonesia (1982: 847), kesadaran adalah keadaan tahu, keadaan mengerti
dan merasa. Pengertian ini juga merupakan kesadaran dari diri seseorang maupun
kelompok. Jadi kesadaran wajib pajak adalah sikap mengerti wajib pajak badan
atau perorangan untuk memahami arti, fungsi dan tujuan pembayaran pajak.
Kesadaran wajib pajak merupakan faktor terpenting dalam sistem perpajakan
modern (Harahap, 2013). Sehingga diperlukan kesadaran wajib pajak untuk
membayar pajak kepada negara guna membiayai pembangunan demi kepentingan dan
kesejahteraan umum. Meningkatkan kesadaran wajib pajak untuk membayar pajak
juga tergantung dari cara pemerintah memberikan penerangan dan pelayanan kepada
masyarakat sebagai wajib pajak agar kesan dan pandangan yang keliru tentang
arti dan fungsi pajak dapat dihilangkan (Tunggal, 2012).
Kesadaran
merupakan unsur dalam diri manusia untuk memahami realitas dan bagaimana mereka
bertindak atau bersikap terhadap realitas. Jatmiko (2006) menjelaskan bahwa
kesadaran adalah keadaan mengetahui atau mengerti. Irianto (2005) dalam
Widayati dan Nurlis (2010) menguraikan beberapa bentuk kesadaran membayar pajak
yang mendorong wajib pajak untuk membayar pajak.
Pertama,
kesadaran bahwa pajak merupakan bentuk partisipasi dalam menunjang pembangunan
negara. Dengan menyadari hal ini, wajib pajak mau membayar pajak karena merasa
tidak dirugikan dari pemungutan pajak yang dilakukan.
Kedua, kesadaran
bahwa penundaan pembayaran pajak dan pengurangan beban pajak sangat merugikan
negara. Wajib pajak mau membayar pajak karena memahami bahwa penundaan
pembayaran pajak dan pengurangan beban pajak berdampak pada kurangnya sumber
daya finansial yang dapat mengakibatkan terhambatnya pembangunan negara.
Ketiga,
kesadaran bahwa pajak ditetapkan dengan Undangundang dan dapat dipaksakan.
Wajib pajak akan membayar karena pembayaran pajak disadari memiliki landasan
hukum yang kuat dan merupakan kewajiban mutlak setiap warga negara. Dalam
Jatmiko (2006), Sumarso (1998) menyatakan bahwa kesadaran perpajakan masyarakat
yang rendah seringkali menjadi salah satu sebab banyaknya potensi pajak yang
tidak dapat dijaring. Kesadaran perpajakan seringkali menjadi kendala dalam
masalah pengumpulan pajak dari masyarakat. Secara empiris juga telah dibuktikan
bahwa makin tinggi kesadaraan perpajakan wajib pajak maka akan makin tinggi
tingkat kepatuhan wajib pajak (Jatmiko, 2015).
b.
Faktor-faktor
yang Mempengaruhi Kesadaran Wajib Pajak
Faktor-faktor
yang mempengaruhi kesadaran wajib pajak antara lain adalah Dari hasil
penelitian Jatmiko (2006) didapatkan beberapa faktor internal yang dominan
membentuk perilaku kesadaran Wajib Pajak untuk patuh yaitu :
1) Persepsi
Wajib Pajak
Kesadaran Wajib
Pajak untuk memenuhi kewajiban pajaknya akan semakin meningkat jika dalam
masyarakat muncul persepsi positif terhadap pajak. Torgler (2008) menyatakan
bahwa kesadaran pembayar pajak untuk patuh membayar pajak terkait dengan
persepsi yang meliputi paradigma akan fungsi pajak bagi pembiayaan pembangunan,
kegunaanpajak dalam penyediaan barang publik, juga keadilan (fairness) dan
kepastian hukum dalam pemenuhan kewajiban perpajakan.
2) Tingkat
Pengetahuan Dalam Kesadaran Membayar Pajak
Tingkat
pengetahuan dan pemahaman pembayar pajak terhadap ketentuan perpajakan yang
berlaku berpengaruh pada perilaku kesadaran pembayar pajak. Wajib Pajak yang
tidak memahami peraturan perpajakan secara jelas cenderung akan menjadi Wajib
Pajak yang tidak taat, dan sebaliknya semakin paham Wajib Pajak terhadap
peraturan perpajakan, maka semakin paham pula Wajib Pajak terhadap sanksi yang
akan diterima bila melalaikan kewajiban perpajakannya. Penelitian yang
dilakukan oleh Prasetyo (2006) memberikan hasil bahwa pemahaman Wajib Pajak
terhadap peraturan perpajakan berpengaruh signifikan terhadap kesadaran Wajib
Pajak dalam melaporkan pajaknya.
3) Kondisi Keuangan Wajib Pajak
Kondisi keuangan
merupakan faktor ekonomi yang berpengaruh pada kepatuhan pajak. Kondisi
keuangan adalah kemampuan keuangan perusahaan yang tercermin dari tingkat
profitabilitas (profitability) dan arus kas (cash flow). Profitabilitas
perusahaan (firm profitability) merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi
kesadaran untuk mematuhi peraturan perpajakan. Perusahaan yang mempunyai
profitabilitas yang tinggi cenderung melaporkan pajaknya dengan jujur dari pada
perusahaan yang mempunyai profitabilitas rendah. Perusahaan dengan
profitabilitas rendah pada umumnya mengalami kesulitan keuangan (financial
difficulty) dan cenderung melakukan ketidakpatuhan pajak. Demikian juga halnya
dengan kondisi arus kas dengan likuiditasnya.
c.
Indikator
Kesadaran Wajib Pajak
Kesadaran wajib
pajak adalah kesadaran dalam memahami bahwa pajak adalah sumber peneriman
negara terbesar, berusaha memahami undang-undang dan sanksi dalam peraturan
perpajakan, sadar bahwa membayar pajak adalah suatu kewajiban, persepsi wajib
pajak tentang pelaksanaan sanksi denda PPh (Munari 2015).
d.
Pengaruh
Kesadaran Wajib Pajak terhadap Kepatuhan Wajib Pajak
Kesadaran
bernegara merupakan faktor penentu adanya kesadaran perpajakan. Kesadaran
bernegara merupakan sikap sadar mempunyai negara dan sikap sadar terhadap
fungsi negara. Sikap yang demikian merupakan komponen cognitif, affective dan
conative yang berinteraksi dalam memahami dan merasakan serta berperilaku
terhadap makna dan fungsi negara atau siapapun yang merasa menjadi warga
negara, yaitu kerelaan memenuhi kewajibannya, termasuk rela memberikan
kontribusi dana untuk pelaksanaan fungsi pemerintah dengan cara membayar
kewajiban pajaknya (Suparmoko, 2015). Mengacu pada kesadaran bernegara, maka
kesadaran perpajakan adalah suatu sikap terhadap fungsi pajak, berupa penerapan
komponen cognitif, affective dan conative dalam memahami, merasakan dan
berperilaku terhadap makna dan fungsi pajak. Wajib pajak berkonsekuensi logis
untuk para wajib pajak agar mereka rela memberikan kontribusi dana untuk
pelaksanaan fungsi perpajakan dengan cara membayar kewajiban pajak secara tepat
waktu dan tepat jumlahnya. Rendahnya kesadaran wajib pajak dapat berpengaruh
terhadap kepatuhan wajib pajak. Hal tersebut dapat dihubungkan dengan teori
pembelajaran sosial yang dikemukakan oleh Ivan Petrovich Paulov (2000), dalam
teori ini menyatakan bahwa individu-individu dapat belajar dan memahami dengan
mengamati apa yang terjadi pada orang lain atau juga bisa dengan mengalaminya
secara langsung. Berdasarkan teori di atas, maka dapat disimpulkan bahwa
kesadaran wajib pajak tergantung pada individual masing-masing, baik dari
pengamatan dari orang lain maupun pengalaman pribadi. Sehingga apabila
kesadaran wajib pajak terus meningkat, maka kepatuhan wajib pajak juga akan
meningkat.
e.
Kepatuhan
Wajib Pajak
1)
Kepatuhan
Menurut Safri
Nurmanto dalam Siti Kurnia Rahayu (2006) mengatakan bahwa kepatuhan perpajakan
dapat didefinisikan sebagai suatu keadaan di mana Wajib Pajak memenuhi semua
kewajiban perpajakan dan melaksanakan hak perpajakannya. Kepatuhan wajib pajak
merupakan pemenuhan kewajiban perpajakan yang dilakukan oleh pembayar pajak
dalam rangka memberikan kontribusi bagi pembangunan dewasa ini yang diharapkan
di dalam pemenuhannya diberikan secara sukarela. Kepatuhan wajib pajak menjadi
aspek penting mengingat sistem perpajakan Indonesia menganut sistem Self
Asessment di mana dalam prosesnya secara mutlak memberikan kepercayaan kepada
wajib pajak untuk menghitung, membayar dan melapor kewajibannya.
Dalam Kamus Umum
Bahasa Indonesia, kepatuhan berarti tunduk atau patuh pada ajaran atau aturan.
Sedangkan menurut Agus Budiatmanto (1999) kepatuhan adalah yang ditetapkan.
Dalam pajak, aturan yang berlaku adalah Undangundang Perpajakan. Jadi,
kepatuhan pajak merupakan kepatuhan seseorang, dalam hal ini adalah wajib
pajak, terhadap peraturan atau Undang-undang Perpajakan. Menurut Simon James et
al (n.d.) yang dikutip oleh Gunadi (2005), pengertian kepatuhan pajak (tax
compliance) adalah wajib pajak mempunyai kesediaan untuk memenuhi kewajiban
pajaknya sesuai dengan aturan yang berlaku tanpa perlu diadakannya pemeriksaan,
investigasi seksama, peringatan ataupun ancaman, dalam penerapan sanksi baik
hukum maupun administrasi. Nurmantu, (2003) mendefinisikan kepatuhan perpajakan
sebagai suatu keadaan dimana wajib pajak memenuhi semua kewajiban perpajakan
dan melaksanakan hak perpajakannya. Kepatuhan yang dikatakan oleh Norman D.
Nowak merupakan “suatu iklim” kepatuhan dan kesadaran pemenuhan kewajiban
perpajakan yang tercermin dalam situasi (Devano dalam Supadmi, 2010) sebagai
berikut.
a)
Wajib pajak paham atau berusaha untuk
memahami semua ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
b)
Mengisi formulir pajak dengan lengkap
dan jelas.
c)
Menghitung jumlah pajak yang terutang dengan
benar.
d) Membayar pajak yang terutang tepat pada
waktunya. motivasi seseorang, kelompok atau organisasi untuk berbuat atau tidak
berbuat sesuai dengan aturan
Muliari dan Setiawan (2010) menjelaskan bahwa
kriteria wajib pajak patuh menurut Keputusan Menteri Keuangan
No.544/KMK.04/2000 wajib pajak patuh adalah sebagai berikut.
1)
Tepat waktu dalam menyampaikan SPT untuk
semua jenis pajak dalam dua tahun terakhir.
2)
Tidak mempunyai tunggakan pajak untuk semua
jenis pajak, kecuali telah memperoleh izin untuk mengangsur atau menunda
pembayaran pajak.
3)
Tidak pernah dijatuhi hukuman karena melakukan
tindak pidana di bidang perpajakan dalam jangka waktu 10 tahun terakhir.
4)
Dalam dua tahun terakhir menyelenggarakan
pembukuan dan dalam hal terhadap wajib pajak pernah dilakukan pemeriksaan,
koreksi pada pemeriksaan yang terakhir untuk tiap-tiap jenis pajak yang
terutang paling banyak lima persen.
5)
Wajib pajak yang laporan keuangannya untuk dua
tahun terakhir diaudit oleh akuntan publik dengan pendapat wajar tanpa
pengecualian atau pendapat dengan pengecualian sepanjang tidak memengaruhi laba
rugi fiskal.
2)
Wajib Pajak
Orang Pribadi
Wajib pajak
orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas adalah mereka
yang menyelenggarakan kegiatan usaha dan tidak terikat oleh suatu ikatan dengan
pemberi kerja. Definisi menjalankan kegiatan usaha yang dimaksud adalah usaha
apapun di berbagai bidang, baik pertanian, industri, perdagangan, maupun yang
lainnya. Sedangkan pekerjaan bebas umumnya terkait dengan keahlian atau profesi
yang dijalankan sendiri oleh tenaga ahli yang bersangkutan antara lain:
pengacara, akuntan, konsultan, notaris, atau dokter. Maksudnya, pelaku
pekerjaan bebas tersebut membuka praktek sendiri dengan nama sendiri. Jika yang
bersangkutan hanya bekerja atau berstatus karyawan, misalnya seorang akuntan bekerja
di Kantor Akuntan Publik, maka yang bersangkutan tidak termasuk wajib pajak
orang pribadi yang menjalankan pekerjaan bebas.
Menurut data
Ditjen Pajak, wajib pajak pribadi umumnya tidak membuat pembukuan atas harta
yang dimilikinya. Wajib pajak pribadi juga kerap tidak melakukan pencatatan
atas penerimaan dan pengeluaran atas harta tersebut. Berdasarkan catatan aparat
pajak, para wajib pajak pribadi umumnya juga melakukan transaksi secara tunai.
Oleh karena itu, banyak transaksi maupun investasi yang sebenarnya terjadi tapi
tidak tercatat (www.pajakpribadi.com). Berdasarkan hal tersebut, penelitian
terhadap wajib pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha dan pekerjaan
bebas ini dirasa menarik untuk dilakukan.
3)
Faktor-faktor
yang Mempengaruhi Kepatuhan
(Devano dalam
Supadmi, 2010) menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan wajib
pajak antara lain :
a) Pemahaman
Terhadap Sistem Self Assesment Dan Ketepatan Membayar Pajak
Merupakan sistem
pemungutan pajak yang besarnya pajak dihitung sendiri oleh wajib pajak. Self
Assessment System menuntut adanya peran serta aktif dari masyarakat dalam
pemenuhan kewajiban perpajakan. Harahap, 2004 (dalam Supadmi, 2010) menyatakan
bahwa dianutnya sistem Self Assessment membawa misi dan konsekuensi perubahan
sikap (kesadaran) warga masyarakat untuk membayar pajak secara sukarela
(voluntary compliance). Sistem self assessment memberikan kepercayaan penuh
kepada wajib pajak untuk menghitung, memperhitungkan, menyetor, dan melaporkan
seluruh pajak yang menjadi kewajibannya. Dengan kata lain, wajib pajak
menentukan sendiri besarnya pajak yang terutang (Supadmi, 2006). Hal ini dapat
digunakan untuk mengukur perilaku wajib pajak, yaitu seberapa besar tingkat
kepatuhan wajib pajak dalam melaksanakan kewajiban mengisi dan menyampaikan
Surat Pemberitahuan (SPT) secara benar dan tepat, semakin tinggi tingkat
kebenaran dalam menghitung, ketepatan menyetor serta menyampaikan Surat
Pemberitahuan (SPT) secara benar dan tepat, maka diharapkan semakin tinggi pula
tingkat kepatuhan wajib pajak dalam melaksanakan dan memenuhi kewajibannya.
b) Kualitas
Pelayanan
Pelayanan yang
berkualitas harus dapat memberikan 4K, yaitu keamanan, kenyamanan, kelancaran,
dan kepastian hukum. Kualitas pelayanan dapat diukur dengan kemampuan memberikan
pelayanan memuaskan dan dapat memberikan pelayanan dan tanggapan, kemampuan,
kesopanan dan sikap dapat dipercaya yang dimiliki oleh aparat pajak.
c) Tingkat
Pendidikan
Tingkat
pendidikan masyarakat yang semakin tinggi akan menyebabkan masyarakat lebih
mudah memahami ketentuan dan peraturan perundang- undangan di bidang perpajakan
yang berlaku. Pendidikan yang rendah juga akan tercermin dari masih banyaknya
wajib pajak terutama orang pribadi yang tidak melakukan pembukuan. Tingkat
pendidikan rendah juga akan berpeluang wajib pajak enggan melaksanakan
kewajiban perpajakan karena kurangnya pemahaman mereka terhadap sistem
perpajakan yang berlaku.
d) Presepsi Wajib Pajak Terhadap Sanksi
Perpajakan
Sanksi
perpajakan diberikan kepada wajib pajak agar wajib pajak mempunyai kesadaran
dan patuh terhadap kewajiban pajak. Sanksi perpajakan dalam undang-undang
perpajakan berupa sanksi administrasi (denda dan bunga) dan sanksi pidana.
Adanya sanksi perpajakan diharapkan dapat meningkatkan kepatuhan wajib pajak.
e) Indikator
Kepatuhan Wajib Pajak
Indikator
kepatuhan wajib pajak menurut Muliari dan Setiawan (2010) dilihat dari
ketepatan pelaporan SPT. Dikatakan tepat waktu apabila wajib pajak melaporkan
SPT sesuai dengan waktu yang ditetapkan. Ketepatan waktu dalam membayar pajak,
patuh mendaftarkan diri sebagai wajib pajak, mengisi formulir dengan benar dan patuh terhadap aturan-aturan yang
ditetapkan di perpajakan.
6) Pajak
Bumi dan Bangunan (PBB)
(1) Definisi
Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)
Dasar hukum PBB
adalah Undang-Undang No. 12 tahun 1985 sebagaimana telah diubah menjadi
Undang-Undang No. 12 tahun 1994 (Mardiasmo, 2009).
Menurut
Undang-Undang No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah,
Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) Pedesaan dan Perkotaan adalah pajak atas bumi
dan/atau bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh orang
pribadi atau badan, kecuali kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha
perkebunan, perhutanan, dan pertambangan. Menurut Mardiasmo (2009:311) Bumi
adalah permukaan bumi dan tubuh bumi yang ada dibawahnya. Permukaan bumi
meliputi tanah dan perairan (termasuk rawa-rawa, tambak, perairan) serta laut
wilayah Republik Indonesia. Sedangkan, Bangunan adalah konstruksi teknik yang
ditanam atau dilekatkan secara tetap pada tanah atau perairan. Yang termasuk
pengertian bangunan adalah:
(a) Jalan
lingkaran yang terletak dalam suatu kompleks bangunan seperti hotel, pabrik,
dan emplaimennya yang merupakan satu kesatuan dengan kompleks bangunan
tersebut.
(b) Jalan
tol
(c) Kolam renang
(d) Pagar mewah
(e) Tempat olah raga
(f) Galangan
kapal, dermaga
(g) Taman mewah
(h) Tempat penampungan/kilang minyak, air dan gas,
pipa minyak
(i) Fasilitas yang memberikan manfaat
PBB adalah pajak yang dipungut atas tanah dan
bangunan karena adanya keuntungan atau kedudukan sosial ekonomi yang lebih baik
bagi orang atau badan yang mempunyai suatu hak atasnya atau memperoleh manfaat
daripadanya Tjahjono (2005).. Menurut Soemitro (2006) PBB adalah pajak yang
dikenakan atas harta tidak bergerak, oleh sebab itu yang dipentingkan adalah
objeknya dan oleh karena itu keadaan atau status orang atau badan yang
dijadikan subjek tidak penting dan tidak mempengaruhi besarnya pajak, maka
disebut juga pajak objektif.
Hukum Pajak PBB adalah pajak yang bersifat kebendaan
dan besarnya pajak terutang ditentukan oleh keadaan objek yaitu bumi/tanah
dan/bangunan. Keadaan subjek (siapa yang membayar) tidak ikut menentukan besar
pajak (Suandy, 2005). Dari pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa
pengertian PBB adalah pajak yang dipungut dari orang pribadi atau badan atas
tanah dan/atau bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan/atau memperoleh manfaat
dari bumi dan bangunan.
(2)
Objek Pajak
Bumi dan Bangunan (PBB)
Menurut
Undang-undang No.28 tahun 2009, objek PBB Pedesaan dan Perkotaan adalah Bumi
dan/atau Bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh orang
pribadi atau badan, kecuali kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha
perkebunan, perhutanan, dan pertambangan. Menurut (Mardiasmo, 2009:333) objek
pajak meliputi:
(a) Yang
menjadi objek pajak adalah bumi dan bangunan.
(b) Yang
dimaksud dengan klasifikasi bumi dan bangunan adalah pengelompokan bumi dan
bangunan menurut nilai jualnya dan digunakan sebagai pedoman, serta untuk
memudahkan penghitungan pajak yang terutang.
Dalam menentukan klasifikasi bumi/tanah diperhatikan
faktor-faktor sebagai berikut:
(a) Letak
(b) Peruntukan
(c) Pemanfaatan
(d) Kondisi
lingkungan dan lain-lain
Dalam menentukan
klasifikasi bangunan diperhatikan faktor-faktor sebagai berikut:
(a) Bahan
yang digunakan
(b) Rekayasa
(c) Letak
(d) Kondisi lingkungan dan lain-lain
(3) Pengecualian
Objek Pajak
(a) Digunakan
semata-mata untuk kepentingan umum dan tidak mencari keuntungan, antara lain:
(i) Di bidang ibadah, contoh: masjid, gereja, vihara
·
Di bidang kesehatan, contoh: rumah sakit
·
Di bidang pendidikan, contoh: madrasah,
pesantren
·
Di bidang sosial, contoh: panti asuhan,
tanah wakaf
·
Di bidang kebudayaan nasional, contoh:
museum, candi.
(1) Digunakan
untuk kuburan, peninggalan purbakala, atau yang sejenis dengan itu.
(2) Merupakan
hutan lindung, hutan suaka alam, hutan wisata, taman nasional, tanah
penggembalaan yang dikuasai oleh desa, dan tanah negara yang belum dibebani
suatu hak dan lain-lain.
(3) Digunakan
oleh perwakilan diplomatik atau konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal
balik.
(4) Digunakan
oleh perwakilan organisasi internasional yang ditentukan oleh Menteri Keuangan
(b) Objek pajak yang digunakan oleh negara untuk
penyelenggaraan pemerintah, penentuan pengenaan pajaknya diatur lebih lanjut
dengan peraturan pemerintah.
(c) Besarnya Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena
Pajak (NJOPTKP) ditetapkan untuk masing-masing kabupaten/kota dengan besar
setinggi-tingginya Rp.12.000.000,- (dua belas juta rupiah) untuk setiap wajib
pajak. Apabila seorang Wajib Pajak memiliki beberapa Objek Pajak, yang diberikan
NJOPTKP hanya salah satu Objek Pajak yang nilainya terbesar, sedangkan objek
pajak lainnya tetap dikenakan secara penuh tanpa dikurangi NJOPTKP.
(d) Subjek
Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)
Menurut
Undang-undang No.28 tahun 2009 pasal 78, yang termasuk ke dalam Subyek PBB
Pedesaan dan Perkotaan adalah orang pribadi atau badan yang secara nyata
mempunyai suatu hak atas bumi, dan/atau memperoleh manfaat atas bumi, dan/atau
memiliki, menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atas bangunan. Subjek PBB ini
juga merupakan WP yang harus memenuhi kewajiban pajaknya atas pemilikan dan
pemanfaatan bumi dan bangunan. Menurut (Mardiasmo, 2009:336) subjek pajak
meliputi:
(i)
Yang menjadi subjek pajak adalah orang
atau badan yang secara nyata mepunyai suatu hak atas bumi, dan atau memperoleh
manfaat atas bumi, dan atau memiliki, menguasai, dan memperoleh manfaat atas
bangunan. Dengan demikian tanda pembayaran/pelunasan pajak bukan merupakan
bukti pemilikan hak.
(ii) Subjek pajak sebagaimana dimaksud dalam no. 1
yang dikenakan kewajiban membayar pajak menjadi wajib pajak.
(iii) Dalam hal atas objek pajak belum jelas
diketahui Wajib Pajaknya, Direktur Jedral Pajak dapat menetapkan subjek pajak
sebagaimana dimaksud dalam no. 1 sebagai Wajib Pajak. Hal ini berarti
memberikan kewenangan kepada Dirjen Pajak untuk menentukan subjek Wajib Pajak,
apabila suatu objek pajak belum jelas Wajib Pajaknya.
(iv) Subjek pajak yang ditetapkan sebagaimana
dimaksud dalam no. 3 dapat memberikan keterangan secara tertulis kepada
Direktur Jendral Pajak bahwa dia bukan Wajib Pajak terhadap objek pajak
dimaksud.
(v) Bila keterangan yang diajukan oleh Wajib Pajak
dalam no. 4 disetujui, maka Direktur Jendral Pajak membatalkan penetapan
sebagai Wajib Pajak sebagaimana dalam no. 3 dalam jangka waktu satu bulan sejak
diterimanya surat keterangan dimaksud.
(vi) Bila keterangan yang diajukan itu tidak
disetujui, maka Direktur Jendral Pajak mengunakan surat keputusan penolakan
dengan disertai alas an-alasannya.
(vii) Apabila setelah jangka waktu satu bulan sejak
tanggal diterimanya keterangan sebagaimana dalam no. 4 Direktur Jendral Pajak
tidak memberikan keputusan, maka keterangan yang diajukan itu dianggap
disetujui.
Apabila
Direktur Jendral Pajak tidak memberikan keputusan dalam waktu 1 (satu) bulan
sejak tanggal diterimanya keterangan dari Wajib Pajak, maka ketetapan sebagai
wajib pajak gugur dengan sendirinya dan berhak mendapatkan keputusan pencabutan
penetapan sebagai Wajib Pajak.
7)
Peneliti
Terdahulu dan Penurunan Hipotesis
(1) Kesadaran
Wajib Pajak terhadap kepatuhan Wajib Pajak PBB.
Penelitian
uang dilakukan oleh Angkoso (2010) dan Sapriadi (2013), menunjukan bahwa
kesadaran Wajib Pajak berpengaruh positif dan signifikan terhadap kepatuhan
Wajib Pajak. Meningkatnya kesadaran akan menumbuhkan motivasi Wajib Pajak dalam
melaksanakan kewajiban perpajakannya. Menurut Sari (2014) kesadaran Wajib Pajak
akan meningkat jika masyarakat memiliki persepsi positif tentang pajak. Namun
berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh (Rohmawati, 2008) kesadaran Wajib
Pajak tidak berpengaruh terhadap kepatuhan Wajib Pajak. Karena pada umumnya
masyarakat, khususnya Wajib Pajak masih beranggapan pajak adalah sesuatu yang
memberatkan dan dalam melakukan pembayarannya mereka masih kesulitan karena
kekurangan pengetahuan. Ketika tingkat kesadaran dari Wajib Pajak meningkat,
hal ini akan memberikan pengaruh dorongan kepada Wajib Pajak untuk patuh dalam
membayar pajak. Wajib Pajak yang memiliki kesadaran yang tinggi akan melaksanakan
kewajiban perpajakannya sesuai dengan peraturan perpajakan yang berlaku.
Berdasarkan hasil penelitian-penelitian sebelumnya, maka dapat dirumuskan
hipotesis sebagai berikut:
H1: Kesadaran Wajib
Pajak berpengaruh positif terhadap kepatuhan WP dalam membayar PBB
(2) Pengetahuan
Perpajakan Terhadap Kepatuhan Wajib Pajak Dalam Membayar PBB.
Wajib
Pajak akan mematuhi peraturan perpajakan, apabila Wajib Pajak mengerti
pentingnya membayar pajak. Suyadi (2006) dalam penelitiannya menyatakan bahwa
adanya pengaruh pengetahuan perpajakan terhadap kepatuhan membayar pajak. Wajib
Pajak yang memiliki pengetahuan tentang pentingnya membayar pajak cenderung
taat membayar pajak (Yogatama, 2014). Peningkatan pengetahuan terhadap
perpajakan memiliki hubungan yang positif terhadap kepatuhan Wajib Pajak.
Semakin
tinggi pengetahuan Wajib Pajak terhadap peraturan perpajakan, maka semakin
paham pula Wajib Pajak terhadap sanksi yang akan diterima jika melalaikan
kewajiban perpajakan, hal ini akan mendorong Wajib Pajak untuk melakukan
kewajiban pajak, sehingga meningkatkan tingkat kepatuhan Wajib Pajak.
Penelitiaan yang dilakukan oleh (Utomo, 2011) menyatakan bahwa pengetahuan
perpajakan berpengaruh positif terhadap kepatuhan Wajib Pajak dalam membayar
PBB. Penelitian yang dilakukan oleh (Rahayu, 2006) menemukan bukti bahwa
pengetahuan Wajib Pajak terhadap peraturan perpajakan berpengaruh positif
terhadap kepatuhan Wajib Pajak dalam membayar Pajak.
Penelitian
ini bertolak belakang dengan penelitian yang dilakukan oleh Rosaline (2013)
menyatakan bahwa pengetahuan tentang perpajakan tidak berpengaruh signifikan
terhadap kemauan Wajib Pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakan. Yulianawati
(2011) dalam penelitiannya menyatakan hal yang sama bahwa pengetahuan
perpajakan tidak berpengaruh terhadap kepatuhan kemauan membayar pajak.
Berdasarkan
hasil penelitian-penelitian sebelumnya, maka dapat dirumuskan hipotesis sebagai
berikut:
H2: Pengetahuan
perpajakan berpengaruh positif terhadap kepatuhan Wajib Pajak dalam membayar
PBB.
8)
Kerangka
Penelitian
BAB
III
METODE
PENELITIAN
A.
Objek dan Subjek Penelitian
Objek
penelitian yang digunakan adalah Dinas Pendapatan Pengelolaan Keuangan dan Aset
Daerah (DPPKAD) Kabupaten Bantul Yogyakarta. Subjek dalam penelitian ini adalah
Wajib Pajak yang melaporkan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) di DPPKAD Kabupaten
Bantul Yogyakarta sebanyak 1.400 Wajib Pajak dengan mengambil sampel sebanyak
100 responden. Subjek pajak yaitu Wajib Pajak orang pribadi dapat memberikan
pendapat tentang pengetahuan perpajakan dan kesadaran membayar pajak.
B.
Jenis Data
Jenis
penelitian ini merupakan jenis penelitian kuantitatif dengan data yang
digunakan dalam penelitian ini adalah data primer. Data primer berasal dari
survei penyebaran kuisioner pada Wajib Pajak DPPKAD Kabupatn Bantul Yogyakarta
yang dikumpulkan secara khusus dan berkaitan langsung tentang permasalahan yang
diteliti.
C.
Teknik
Pengambilan Sampel
Pengambilan
sampel dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode non probability
sampling. Non probability sampling adalah pengambilan sampel dengan tidak
menggunakan metode acak (Nawangsari, 2010). Pemilihan sampel menggunakan teknik
convenience sampling, peneliti tidak mempunyai pertimbangan lain kecuali berdasarkan
kemudahan. Seseorang diambil sebagai sampel karena kebetulan orang tersebut ada
ditempat atau kebetulan mengenal orang tersebut. Sampel dapat diambil dengan
menyebarkan koesioner pada Wajib Pajak yang sedang melakukan pembayaran pajak
maupun survei ke rumah Wajib Pajak orang pribadi yang terdaftar di DPPKAD
Belitung Timur.
Jumlah sampel dihitung
dengan menggunakan rumus Slovin (1960) sebagai berikut:
Dengan ukuran populasi
sebesar 44.715 Wajib pajak dan tingkat kelonggaran ketidaktelitian sebesar 10%,
dimana ukuran sampel dalam penelitian ini adalah:
D.
Teknik Pengumpulan Data
Metode
pengumpulan data menjelaskan bagaimana data penelitian diperoleh. Pengumpulan
data primer dilakukan dengan metode survei menggunakan media angket (kuesioner).
Sejumlah pertanyaan diajukan kepada responden diminta menjawab sesuai pendapat
mereka. Untuk mengukur pendapat responden menggunakan skala Likert 5 angka,
yaitu mulai angka 5 untuk pendapat sangat setuju (SS) dan angka 1 untuk sangat
tidak setuju (STS). Item tersebut menggunakan tanda centang sehingga responden
hanya memberi tanda centang (√) sesuai dengan pendapat masing-masing.
Perinciannya adalah sebagai berikut:
Angka 1= Sangat
Tidak Setuju (STS)
Angka 2= Tidak
Setuju (TS)
Angka 3= Kurang Setuju
(KS) Angka
4= Setuju (S)
Angka
5= Sangat Setuju
(SS)
E. Definisi Operasional Variabel
Penelitian
1. Variabel
Independen
a) Kesadaran
Wajib Pajak
Variabel
independen pertama pada penelitian ini adalah kesadaran WP. Kesadaran WP
merupakan rasa yang timbul dari dalam diri wajib pajak atas kewajibannya
membayar pajak dengan ikhlas tanpa adanya unsur paksaan. Meningkatnya kesadaran
akan menumbuhkan motivasi WP dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya.
Kesadaran wajib pajak akan meningkat jika masyarakat memiliki persepsi positif
tentang pajak.
Menurut
Yulianawati (2011) indikator kesadaran membayar pajak antara lain: (1) Pajak
merupakan bentuk partisipasi dalam menunjang pembangunan negara, (2) Penundaan
pembayaran pajak dan pengurangan beban pajak sangat merugikan negara, (3) Pajak
ditetapkan dengan undangundang dan dapat dipaksakan, dan (4) Membayar pajak
tidak sesuai dengan yang seharusnya dibayar akan merugikan negara.
b) Pengetahuan
Perpajakan (X2)
Variabel
independen kedua pada penelitian ini adalah pengetahuan perpajakan. Adanya
pengetahuan peraturan perpajakan membuat WP sadar mengenai arti penting dan
manfaat dari pembayaran pajak yang dilakukan kepada Negara, maka WP dengan
sukarela akan melakukan pembayaran pajak secara tertib dan tepat waktu. Menurut
Widayati (2013) ada 5(lima) indikator yang digunakan dalam pengetahuan
perpajakan yaitu: (1) Pengetahuan tentang hak dan kewajiban perpajakan, (2)
Pengetahuan tentang sanksi jika melakukan pelanggaran perpajakan, (3)
Pengetahuan mengenai PTKP, PKP dan tarif pajak, (4) Pengetahuan peraturan pajak
melalui sosialisasi, (5) Pengetahuan peraturan pajak melalui training.
2. Variabel
Dependen
Variabel
dependen atau variable terikat adalah faktor-faktor yang diobservasi dan diukur
untuk menentukan adanya pengaruh variable bebas, yaitu faktor yang muncul, atau
tidak muncul atau berubah sesuai dengan yang diperkenalkan oleh peneliti.
Dalam penelitian
ini variable dependen adalah Kepatuhan WP dalam membayar PBB. Kepatuhan WP
adalah dimana seorang WP yang memenuhi peraturan perpajakan yang sudah menjadi
kewajibannya untuk melunasi pajak terutang secara tepat waktu sesuai nominal
yang telah ditetapkan oleh Direktorat Jendral Pajak yang telah di lindungi oleh
UU. Sesuai pasal 17 C KUP Jis KMK Nomor 544/KMK.04/2000 Direktorat Jenderal
Pajak mengeluarkan kriteria kepatuhan WP. Kepatuhan WP adalah dimana
orang/badan yang berhak menerima pengembalian kelebihan pembayaran pajak sesuai
kriteria tertentu yang ditetapkan oleh Direktorat Jendral Pajak dimana WP
selalu tepat waktu dalam membayar pajak, tidak pernah memiliki tunggakan pajak,
tidak pernah dikenakan hukuman pidana dalam bidang pajak dan koreksi fiskal
kutang dari 10% dilihat dari penghasilan bruto.
F.
Metode Analisis
Data
Dalam penelitian ini terdapat beberapa tahap metode analisis data yang terdiri
dari statistic deskriftif, uji kualitas data, uji asumsi klasik, dan uji
hipotesis.
1. Uji
Statistik Deskriftif
Uji statistik
deskriptif adalah ilmu statistik yang mempelajari bagaimana cara mengumpulkan,
menyusun, dan menyajikan ringkasan data penelitian. Dengan adanya satistik
deskriptif data dapat disajikan secara teratur dan ringkas. Uji ini untuk
mengetahui nilai minimum, nilai maksimum, nuilai rata-rata (mean) dan tingkat
penyimpangan penyebaran data (standar deviasi). Minimum digunakan untuk
mengetahui jumlah terkecil data yang bersangkutan. Maksimum digunakan untuk
mengetahui jumlah terbesar data yang bersangkutan. Mean digunakan untuk
mengetahui rata-rata data yang bersangkutan. Standar deviasi digunakan untuk
mengetahui seberapa besar data yang bersangkutan bervariasi dari rata-rata.
2. Uji
Kualitas Data
a. Uji
Validitas
Validitas
merupakan untuk mengukur sah atau valid tidaknya suatu kuesioner. pengujian
validitas dilakukan untuk membuktikan sejauh mana data yang terdapat dalam
kuesioner dapat mengukur senyatanya (actually) dan seakuratnya (accurately) apa
yang harus diukur dari konsep, sehingga pengujian validitas berhubungan dengan
ketetapan alat ukur untuk melakukan tugasnya mencapai sasarannya dan
keberhasilan dari pengujian ini ditentukan oleh proses pengukuran yang akurat.
Suatu kuesioner dikatakan valid jika pertanyaan pada kuesioner mampu untuk
mengungkapkan sesuatu yang akan diukur oleh kuesioner tersebut (Ghozali, 2007).
Instrumen penelitian dapat dikatakan valid apabila factor loading > cut off
0,40 (Rahmawati, 2014).
b. Uji
Reliabilitas
Reliabilitas
adalah alat untuk mengukur suatu kuesioner yang merupakan indikator dari setiap
variabel atau konstruk. Menurut Ghozali (2007) butir pertanyaan dapat dikatakan
reliabel handal apabila jawaban seseorang terhadap pertanyaan adalah konsisten
atau stabil dari waktu ke waktu. Untuk menguji reliabilitas instrument
dilakukan dengan metode Cronbach Alpha, dimana data dianggap reliable apabila
Cronbach Alpha diatas 0,6.
c. Uji
Asumsi Klasik
Uji asumsi
klasik digunakan menguji hipotesis dengan menggunakan alat analisis regresi
berganda karena memiliki lebih dari satu variabel bebas (independen) dengan
menggunakan software SPSS. Uji asumsi klasik juga dilakukan untuk memastikan
bahwa data penelitian valid, tidak bias, konsisten, dan penaksiran regresinya
bersifat efisien (Ghozali, 2005). Berikut ini adalah penjelasan uji klasik yang
akan digunakan:
1)
Uji Normalitas
Menurut Ghozali
(2007), uji normalitas bertujuan untuk menguji apakah dalam model regresi,
variabel penggangu atau residual memiliki distribusi normal atau tidak. Model
regresi yang baik adalah memiliki data yang terdistribusi normal atau mendekati
normal. Ada dua cara untuk mendeteksi apakah residual berdistribusi normal atau
tidak yaitu dengan analisis grafik atau uji statistik (Ghozali, 2006).
Apabila
menggunakan grafik, normalitas umumnya dideteksi dengan melihat grafik
histogram, jika pada grafik tersebut memberikan pola distribusi yang normal
(simetris/tidak menceng) maka menunjukkan bahwa model regresi memenuhi asumsi
normalitas. Cara lain yaitu dengan melihat penyebaran data (titik) pada suatu
sumbu diagoal dari grafik adalah normal probability plot yang membandingkan
distribusi kumulatif dari data sesungguhnya dengan distribusi kumulatif dari
distribusi normal. Uji statistik yang dapat digunakan dalam uji normalitas
adalah uji Kolmogorov-Smirnov. Apabila nilai Asym. Sig (2- tailed) dari
residual > 0.05, berarti data tersebut berdistribusi normal (Ghozali, 2005).
2)
Uji Multikolonieritas
Menurut (Gozali, 2005), uji multikoloniaritas
bertujuan untuk menguji apakah pada model regresi ditemukan adanya korelasi
antara variabel bebas (independen). Model regresi yang baik seharusnya tidak
terjadi korelasi diantara variabel (independen). Untuk mengetahui ada tidaknya
multikolinearitas didalam model regresi dapat dilihat dari variable dengan
menggunakan Variance Inflation Factor (VIF) dan Tolerance Value. Dengan menggunakan
nilai tolerance nilai yang terbentuk harus diatas 0,1 atau 10%, sedangkan
dengan menggunakan VIF nilai yang terbentuk harus kurang dari 10, bila tidak
maka akan terjadi multikoloniaritas.
3)
Uji Heteroskedastisitas
Uji heteroskedastisitas menurut Ghozali (2007)
dilakukan untuk menguji apakah dalam sebuah model regresi terjadi ketidaksamaan
varians dan residual atas sesuatu pengamatan ke pengamatan lain. Jika variance
dari residual satu pegamatan ke pengamatan yang laintetap, maka disebut heteroskedastisitas.
Dalam penelitian ini, uji heteroskedastisitas menggunakan uji glejser, yaitu
dengan cara meregres variabel dependen dengan nilai absolut dari residual. Jika
hasil pengujian t-tast diperoleh pvalue (Sig.) > 0.05 berarti tidak terjadi
gejala heteroskedastisitas, sehingga model regresi yang dilakukan layak
dipakai. Model regresi yang baik adalah yang homoskedastisitas atau tidak
terjadi heteroskedastisitas.
d. Uji
Hipotesis
1)
Analisis Regresi Berganda
Teknik analisis dalam penelitian ini menggunakan analisis
regresi linier berganda. Analisis ini digunakan untuk penelitian yang memiliki
lebih dari satu variabel independen. Teknik analisis regresi berganda dipilih
karena dapat menyimpulkan secara langsung mengenai pengaruh masing-masing
variabel bebas yang digunakan secara parsial ataupun secara bersamasama. Hair
et al. (1998) menyatakan bahwa regresi berganda merupakan teknik statistik
untuk menjelaskan keterkaitan antara variabel terikat dengan beberapa variabel
bebas. Model Regresi yang digunakan adalah sebagai berikut:
Keterangan:
Y
: kepatuhan Wajib Pajak PBB
X1
: kesadaran wajib pajak
X3
: Pengatuahn Perpajakan
β1,
β2, β3 : Koefisien regresi
e
: error
2)
Uji Statistik t
Uji
t digunakan untuk menguji apakah variabel bebas berpengaruh secara signifikan
terhadap variabel terikat. Kriteria penerimaan uji statistik T atau kriteria
penerimaan hipotesis adalah jika nilai signifikansi < α (0,05) dan koefisien
regresi searah dengan hipotesis (Ghozali, 2006).
3)
Uji Statistik F
Uji
F-statistik pada dasarnya digunakan untuk menguji apakah semua variabel
independen yang dimasukkan dalam model regresi mempunyai pengaruh secara
bersama-sama terhadap variabel dependen (Ghozali, 2007). Kriteria hipotesis
diterima apabila nilai sig < α 0,05.
4)
Koefisien Determinasi (R2 )
Koefisien
determinasi (R2 ) digunakan untuk melihat seberapa besar kemampuan variabel
independen mampu menjelaskan variabel dependen (Ghozali, 2005). Nilai koefisien
determinasi (R2 ) adalah antara 0 (nol) sampai dengan 1 (satu). Nilai R 2 yang
kecil berarti kemampuan variabel-variabel independen dalam menjelaskan variasi
variabel dependen amat terbatas. Nilai yang mendekati satu berarti
variabel-variabel independen memberikan hampir semua informasi yang dibutuhkan
untuk memprediksi variasi variabel dependen (Ghozali, 2005).
DAFTAR PUSTAKA
Devano, Sony dan
Rahayu. 2016. “Perpajakan: konsep, teori dan isu”. Jakarta: Kencana Prenada
Media Group.
Franklin,
Bernama. 2013. “Pengaruh tingkat pemahaman, pengalaman, penghasilan,
administrasi perpajakan, kompensasi pajak, dan sanksi pajak terhadap kepatuhan
wajib pajak dalam membayar PBB di kecamatan Padang Barat”. Skripsi FE UNP
Ghozali, Imam.
2005. “Aplikasi Analisis Multivariate dengan program SPSS”. Semarang:
Universitas Diponegoro. Cetakan Keempat. Badan Penerbit Universitas Diponegoro,
Semarang.
Muliari, Ni K.,
dan Setiawan, Putu E., “Pengaruh Persepsi Tentang Sanksi Perpajakan Dan
Kesadaran Wajib Pajak Pada Kepatuhan Pelaporan Wajib Pajak Orang Pribadi Di
Kantor Pelayanan Pajak Pratama Denpasar Timur”, Jurnal Universitas Udayana.
Nawangsari,
Restu, 2010.” Pengaruh Persepsi Wajib atas Pelayanan Publik, Iklan Pajak, dan
Kesadaran Wajib Pajak terhadap Kepatuhan Wajib Pajak”. Skripsi. UMY.
Yogyakarta.
Robbins, Stephen
P, 2013. Perilaku Organisasi, Jilid 2, PT. Indeks Kelompok Gramedia, Jakarta.
Robbins, Stephen
P., 2013. Organizational Behaviour. Tenth Edition. New Jersey: Prentice Hall
Inc