Sharing Is Caring

Jumat, 09 Agustus 2019

ADA APA DENGAN ”TAKONO”? || PENGALAMAN MOS SMK



Libur semester kenaikan kelas telah berakhir. Kelas 11 sudah menanti tuk kulalui. Aku masuk sekolah dengan hati gembira karena sebentar lagi akan diadakan pelantikan bantara. Saat masih duduk di bangku kelas 10 sekolah tercintaku SMK N 1 Manding mewajibkan untuk mengikuti kegiatan ekstrakurikuler yaitu pramuka. Penerimaan tamu ambalan juga sudah dilaksanakan tahun lalu bertempat di kawasan Makam Pahlawan Kusuma Bangsa Manding. Bagi yang ingin menjadi penegak bantara harus mengikuti seluruh ujian. Aku tertarik untuk mejadi anggota penegak bantara sehingga aku mengikuti ujian SKU. Aku mengajak teman sekelasku untuk ikut ada yang mau dan banyak juga yang tidak mau.
“ Er, ayo ikut jadi bantara, biar bisa deket sama kak Miko”, Aku merayu pada Erni temanku sebangku agar mau ikut.
“ Enggak ah Yani, aku takut apalagi waktu diceritain tentang pelantikan bantara, huuuh sereeem”, Erni menjawab dengan nada tinggi.
Aku ikut mendaftarkan diri sebagai bantara karena aku ngefans sama Kak Abi kakak kelasku yang juga jadi bantara. Ujian SKU berhasil kutempuh dengan lancar mungkin karena pengujinya Kak Abi jadi  membuat semangat dan sekalian cari perhatian alias modus. Sebelum libur semester kenaikan kelas kemarin telah diumumkan syarat-syarat dan perlengkapan yang harus  dibawa saat acara pelantikan. Aku masih bingung pada satu hal yang harus di bawa yaitu disuruh membawa  air mineral 1 L merk ‘Takono’. Teman-temanku juga bingung harus mencari kemana. Diam-diam aku tanya ke Kak Abi lewat sms tetapi tidak dibalas-balas. Aku berpikir keras untuk memecahkan teka-teki minuman itu. Terbesit di pikiranku ‘Takono’ itu adalah sebuah kata dalam bahasa Jawa kalau dalam bahasa Indonesia artinya tidak ada. Akhirnya aku membeli air mineral 1 L lalu label merknya ku lepas dari botol jadilah air mineral ’Takono” versiku.
Hari pelantikan telah tiba, hari sabtu malam ahad legi pukul 16:00 semua calon anggota bantara harus berkumpul di lapangan sekolah. Tiga buah salak, tiga buah lilin dan satu korek api kuserahkan ke panitia registrasi sebagai persyaratan. Upacara pembukaan segera dimulai dan panitia menjelaskan semua prosesi.
Selepas sholat isya, semua berkumpul di lapangan untuk makan malam dengan bekal yang dibawa masing-masing berupa nasi golong 5 cm, tempe segitiga dan oseng-oseng daun pepaya dibungkus karet warna hijau. Panitia mengecek satu per satu bekal. Aku sangat khawatir karena ternyata yang kubawa malah oseng-oseng pepaya.
”Haduh ibuku salah memasak, oseng-oseng dong kates kok malah oseng-oseng kates, kenapa tadi sebelum berangkat tidak ku cek ya?” kataku dalam hati
 Aku beruntung karena keadaan di lapangan tidak terlalu terang membuat panitia tidak begitu awas pada bekal yang kubawa hanya sepintas melihat ke arah bekalku namun kututupi dengan bungkusnya sehingga hanya terlihat samar. Bekal itu harus dihabiskan dalam waktu lima menit kalau tidak akan diberi hukuman. Waduw, dengan cepat dan lahap kuhabiskan bekalku sampai-sampai ada yang tidak aku kunyah. Perutku rasanya penuh sekali membuat aku mual ingin muntah. Semua peserta dipersilakan minum dengan minuman ”Takono” yang sudah dibawa masing. Aku lihat teman-teman di sekitarada yang membawa seperti versiku, ada yang merk Aqua, Aquaria, Total. Tiba-tiba Kak Abi selaku ketua bantara mengagetkan semua yang di lapangan.
“Selamat kepada peserta yang sudah membawa minuman yang benar, dan yang salah akan diberi hukuman”. Kak Abi teriak menggunakan pengeras suara.
Aku kena hukuman karena aku salah membawa, ternyata yang dimaksud merk “Takono” adalah bertanyalah pada penjualnya, jadi mau dikasih merk apa saja boleh. Untung saja yang kena hukuman tidak hanya aku. Hukumannya adalah menyanyikan lagu bintang kecil dengan mengganti vokal menjadi ”i” semua. Semua yang ada dilapangan tertawa terbahak-bahak. Cerita menyeramkan tentang pelantikan bantara yang beredar belum terbukti hingga acara ini. Acara makan malam berakhir menyenangkan, dilanjutkan acara renungan malam tentang pengorbanan ibu. Suasana malam yang hening membuat pikiran terkenang akan memori tentang ibu. Hampir semua peserta menangis tersedu-sedu. Tetapi ada yang membuatku ingin tertawa, geli rasanya ketika yang lain menangis sambil memanggil ibu. Aku mendengar salah seorang peserta putra memanggil bapak. Renungan malam berjalan lancar dengan suasana mengharu biru. Semua peserta dipersilakan istirahat untuk menyiapkan mental di puncak acara pelantikan bantara.
Tepat jam 12 malam pintu di dobrak oleh kakak-kakak panitia. Aku terkejut langsung terbangun. Semua disuruh ke lapangan dengan memakai pakaian olahraga dalam waktu 5 menit. Aku kebingungan mencari tas ranselku karena gelapnya kelas, kakak-kakak panitia tak mengizinkan untuk menyalakan lampu. Jantungku berdegup kencang, mungkinkah ini malam penggojlokan itu? Aku berlari ke tengah lapangan di tengah gelapnya malam melengkapi barisan yang belum rapi. Pelantikanpun dimulai, semua peserta dibuat berpasang-pasang. Tugasnya adalah menemukan pasangan buah salak. Dimana salah satu buah salak adalah sebuah pertanyaan dan yang satu lagi adalah jawabannya. Buah salak telah disebar di kelas-kelas dan kamar mandi.
”Hai, aku Yani dari Akuntansi 2” , salamku berkenalan.
Aku berpasangan dengan Hesti anak jurusan Pemasaran 4. Kami belum kenal sebelumnya karena berbeda jurusan. Aku terkejut karena mendapat giliran pertama. Kami bergandengan tangan berjalan perlahan menuju ke kelas-kelas. Tiba-tiba didekat tempat parkir muncul sesosok orang berpakaian serba hitam. Kamipun mengucapkan salam seperti yang dijelaskan kakak-kakak panitia bantara. Sudah kami lewati kelas demi kelas bagian bawah yang hanya diterangi lilin. Kami haru mencari sebuah jawaban dari pertanyaan yang kami dapat yaitu ”Sebutkan bunyi dasadharma pramuka yang ke tujuh?. Berbagai samaran hantupun telah kami lewati, mulai dari kuntilanak yang berkeliaran di tangga menuju kelas, hingga pocong-pocong yang berada didalam kelas.
Akhirnya kami tiba di ruang kelas terakhir yang letaknya diujung lantai dua. Ruang kelas No. 14 yang terkenal angker di sekolahku. Kami melihat sesosok pocong yang kuketahui dia hanyalah kakak kelas kami yang menyamar. Kuperhatikan dengan seksama ternyata itu adalah Kak Abi. Suasana yang tadinya membuat ku takut merasa nyaman karena ada Kak Abi. Dengan sok tenang aku masuk ke dalam kelas duluan padahal perasaan takut bercampur aduk. Terdengar gesekan jendela kelas yang membuat aku semakin merinding. Hesti mulai menyusulku dari belakang dan seketika pintu kelas tertutup. Kamipun berkomat-kamit mengucap Istighfar sambil mencari salak.
”Hesti, ini kelas terakhir pasti ada disini jawabannya”. Kataku ketakutan.
Benar saja ternyata di laci bangku yang paling belakang kami berhasil menemukan salak itu. Ketika kami berbalik dari bangku setelah mengambil salak kami kaget ternyata sesosok putih dengan wajah menunduk tertutup rambut panjang sudah berdiri di hadapan kami. Dengan keras kami berteriak ketakutan sampai akhirnya kami berlari keluar kelas.
Dengan senang kami tiba di pos akhir karena berhasil melaksanakan misi yang diberikan. Hampir jam 4 pagi semua peserta berhasil menemukan pasangan buah salak. Peserta putri banyak yang pingsan karena ketakutan. Aku merasa bangga dapat melewati malam uji nyali itu. Setelah semua sudah berkumpul kembali dilanjutkan sholat subuh. Upacara penutupan sudah disiapkan dan anggota bantara angkatanku resmi dilantik.
Keesokan paginya di sekolah, aku bercerita tentang pengalaman uji nyali semalam. Ternyata ada yang mengaku bertemu kuntilanak sungguhan di ruang kelas. Bahkan ada yang pingsan bertemu pocong-pocongan di depan kamar mandi. Pelantikan bantara memang telah usai. Tetapi tanggung jawab akan selalu menanti. Semangat berorganisasi bisa dimulai dari lingkup kecil yang kami bisa. Sebagai generasi muda memang harus bertanggung jawab untuk terus berprestasi dengan jiwa kepemimpiman yang mulai ditanam sedini mungkin. Sungguh pengalaman yang tak terlupakan keceriaan, ketegangan dan kebersamaan mewarnai acara pelantikan bantara.