Sistem peradilan Indonesia merupakan suatu bentuk konkret penerapan hukum dalam masyarakat yang didasarkan pada aturan-aturan hukum. Dalam Pasal 1 Ayat (3) UUD 1945 menyebutkan, “Negara Indonesia adalah Negara Hukum”. Artinya, siapapun warga negara, wajib tunduk dan patuh pada hukum. Dalam penerapannya, hukum tidak hanya untuk memperoleh keadilan, tetapi harus seimbang antara tuntutan keadilan dengan tuntutan kepastian hukum.
Dalam proses peradilan terdapat lembaga-lembaga penegak hukum dengan tugas dan fungsi yang berbeda-beda. Lembaga tersebut antara lain (1) Kepolisian yang mempunyai fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. (2) Kejaksaan yang melaksanakan tugas dan wewenang serta fungsi kejaksaan di daerah hukum Kejaksaan Tinggi yang bersangkutan sesuai dengan peraturan perundangan-undangan dan kebijaksanaan yang ditetapkan oleh Jaksa serta tugas-tugas lain yang ditetapkan oleh Jaksa Agung. (3) Pengadilan dengan tiga tingkatan yaitu tingkat pertama, banding, dan kasasi. (4) Lembaga pemasyarakatan untuk melakukan pembinaan terhadap narapidana dan anak didik pemasyarakatan di Indonesia.
Selain lembaga di atas terdapat sebuah lembaga yang independen yang berada di luar dari cabang kekuasaan eksekutif, legislatif maupun yudikatif, namun memiliki fungsi campuran antar ketiga cabang kekuasaan tersebut. Lembaga tersebut adalah Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) yang bertanggungjawab untuk menangani pemberian perlindungan dan bantuan pada saksi dan korban. LPSK Melayani masyarakat sesuai dengan tugas dan fungsi sebagaimana diatur dalam Pasal 12 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 Tantang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
Pemberian perlindungan bagi saksi dan korban dari suatu tindak pidana adalah bagian dari proses peradilan untuk penegakan hukum. Saksi dan korban adalah kunci untuk mewujudkan peradilan. Penegak hukum dalam proses peradila sering mengalami kesulitan karena tidak dapat menghadirkan saksi dan atau korban. Hal itu disebabkan adanya ancaman, baik fisik maupun psikis dari pihak tertentu.
Dalam menyelenggarakan tugas LPSK mempunyai wewenang sebagaimana diatur dalam Pasal 12 A Ayat 1 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014. LPSK melaksanakan tugas untuk menangani pemberian perlindungan dan bantuan pada saksi dan korban sesuai dengan kewenangannya, yaitu:
1. Meminta keterangan secara lisan dan/atau tertulis dari pemohon dan pihak lain yang terkait dengan permohonan;
2. Menelaah keterangan, surat, dan/atau dokumen yang terkait untuk mendapatkan kebenaran atas permohonan;
3. Meminta salinan atau fotokopi surat dan/atau dokumen terkait yang diperlukan dari instansi manapun untuk memeriksa laporan pemohon sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
4. Meminta informasi perkembangan kasus dari penegak hukum;
5. Mengubah identitas terlindung sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan;
6. Mengelola rumah aman;
7. Memindahkan atau merelokasi terlindung ke tempat yang lebih aman;
8. Melakukan pengamanan dan pengawalan;
9. Melakukan pendampingan Saksi dan/atau Korban dalam proses peradilan; dan
10. Melakukan penilaian ganti rugi dalam pemberian Restitusi dan Kompensasi.
LPSK telah melakukan beberapa upaya dalam penguatan kapasitas. Upaya itu dilakukan melalui koordinasi dengan lembaga yang terkait dengan melakukan serangkaian pembangunan dan pengembangan kerjasama dengan berbagai instansi terkait dan berwenang. Penguatan kapasitas LPSK dalam proses peradilan di Indonesia yang telah dilakukan antara lain:
1. Dalam rangka mendukung administrasi kelembagaan dan penguatan Sumber Daya Manusia LPSK telah menandatangani nota kesepahaman perlindungan saksi dan korban dengan Kementerian Hukum dan HAM, Badan Narkotika Nasional, Komisi Pemberantasan Korupsi dan Lembaga Administrasi Negara (Tahun 2010).
2. Dalam rangka mewujudkan kerjasama operasional perlindungan saksi dan korban LPSK juga telah menyusun pedoman teknis kerjasama dengan KPK, dengan Kepolisian RI, Komisi Perlindungan Anak Indonesia, KOMNAS Anti Kekerasan terhadap Perempuan, dan KOMNAS HAM (Tahun 2010).
3. Dalam rangka membina kerjasama dan mewujudkan kapasitas serta kemampuan untuk melakukan aktivitas perlindungan saksi dan/ atau korban dalam setiap proses peradilan pidana LPSK melakukan penandatangan kesepakatan unsur penegak hukum yang ditandatangani oleh unsur Kepolisian RI, Kejaksaan Agung RI, Mahkamah Agung RI, KPK, Peradi, dan LPSK.
4. Dalam hal pemahaman hak konstitusional warga negara dan perlindungan saksi korban, LPSK melakukan penandatanganan nota kesepemahaman antara MK dengan BPKP dan LPSK.
Menurut saya peranan LPSK sangat penting dalam proses peradilan di Indonesia. Perlindungan hukum terhadap saksi dan korban secara komprehensif seharusnya berlaku baik pada tahap peradilan (mulai dari tahap pelaporan, penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan dipersidangan) maupun setelah proses peradilan selesai. Hal ini disebabkan terkadang dalam kondisi tertentu pada suatu tindak pidana tertentu, ancaman dan terror bagi saksi dan korban akan mungkin tetap ada setelah proses peradilan pidana itu telah selesai.
Saksi dan korban perlu mendapatkan hak dan perlakuan khusus, karena mengingat keterangan yang disampaikan dapat mengancam keselamatan dirinya sebagai seorang saksi. Jika tidak payung hukum yang jelas untuk memberikan jaminan keamanan bagi seorang saksi, maka seseorang akan merasa takut untuk menjadi seorang saksi. LPSK Melayani dengan memberikan perlindungan berupa tempat bernaung atau perlindungan bagi seseorang yang membutuhkan, sehingga merasa aman terhadap ancaman di sekitarnya. Hal tersebut sesuai dengan wewenang yang dimiliki LPSK.
Dalam menyelenggarakan tugas LPSK mempunyai wewenang sebagaimana diatur dalam Pasal 12 A Ayat 1 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014. LPSK melaksanakan tugas untuk menangani pemberian perlindungan dan bantuan pada saksi dan korban sesuai dengan kewenangannya, yaitu:
1. Meminta keterangan secara lisan dan/atau tertulis dari pemohon dan pihak lain yang terkait dengan permohonan;
2. Menelaah keterangan, surat, dan/atau dokumen yang terkait untuk mendapatkan kebenaran atas permohonan;
3. Meminta salinan atau fotokopi surat dan/atau dokumen terkait yang diperlukan dari instansi manapun untuk memeriksa laporan pemohon sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
4. Meminta informasi perkembangan kasus dari penegak hukum;
5. Mengubah identitas terlindung sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan;
6. Mengelola rumah aman;
7. Memindahkan atau merelokasi terlindung ke tempat yang lebih aman;
8. Melakukan pengamanan dan pengawalan;
9. Melakukan pendampingan Saksi dan/atau Korban dalam proses peradilan; dan
10. Melakukan penilaian ganti rugi dalam pemberian Restitusi dan Kompensasi.
Upaya penguatan kapasitas LPSK tak lepas dari peranan pimpinan dan anggotanya. Optimisme perlindungan saksi dan korban di tangan pimpinan baru LPSK diharapkan akan membuat LSPK Melayani dengan lebih optimal dalam melaksanakan tugas, fungsi, dan wewenangnya. LPSK telah menunjukkan rekam jejak yang patut diacungi jempol dari berbagai pihak.
Dalam rangka peningkatan kapasitas kelembagaan bahwa LPSK perlu menyusun suatu peraturan sistem manajemen SDM yang diharapkan mampu menciptakan tata kerja dan peningkatan kinerja lembaga. Untuk mendukung hal ini, penguatan kapasitas internal tidak terlepas dari dukungan SDM yang kompeten sebagai pelaksana aktivitas perlindungan. Apabila LPSK didukung oleh SDM yang berkompetensi tinggi serta tertata baik, tentunya tugas dan fungsi serta peranan LPSK dapat terlaksana secara maksimal.